Sponsor


ShoutMix chat widget

Kamis, 30 April 2009

Lomba Karya Tulis Pemuda 2009

Lomba Karya Tulis Pemuda 2009
Posted by lombalomba on 3/02/09 •
Categorized as Mahasiswa, Pelajar, Umum
LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL dan PENGHARGAAN UNTUK PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena menyelenggarakan Lomba Karya Tulis dan Penghargaan untuk Penulis Artikel Kepemudaan.
Persyaratan Lomba Karya Tulis:
1. Naskah berbentuk “esai” dengan tema “Kepemimpinan Pemuda”.
Peserta dapat memilih salah satu dari sub-sub tema berikut):
a. Pemuda di Kursi Kepresidenan Indonesia
b. Pemimpin Muda Idaman.
c. Menjadi Pemimpin di Era Krisis Global.
d. Mencari Wadah Pencetak Pemimpin Bangsa.
e. Menjadi Pemimpin Lokal Berpikiran Global.
f. Jika Perempuan Menjadi Pemimpin Indonesia.
g. Budaya Baca Calon Pemimpin Bangsa.
2. Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
3. Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
4. Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur
pornografi.
5. Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
6. Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik
dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
7. Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas
A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
8. Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
9. Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar
naskah
10. Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).
Persyaratan Penghargaan Penulis:
1. Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Oktober 2008 – April 2009 yang bertema Kepemudaan.
2. Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak tiga rangkap.
3. Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)
4. Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
5. Mencantumkan “Penghargaan Penulis” di sudut kiri amplop.
Persyaratan Teknis :
1. Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat lengkap, nomor telepon/handphone, e-mail). Untuk pengiriman email, identitas diri dapat discan (dengan resolusi secukupnya).
2. Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke:
Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis
Jl. Rasamala Raya No 20 Depok Timur 16418
Naskah lomba juga dapat dikirim melalui email: lomba.menpora@gmail.com
(identitas diri dapat discan).
3. Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 5 Mei 2009
HADIAH setiap kategori dan Penghargaan Penulis:
Juara I: Rp2.500.000,-
Juara II: Rp2.000.000,-
Juara III: Rp1.500.000,
3 pemenang hiburan @ Rp500.000,-
* Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlingkarpena.net
dan http://forumlingkarpena.multiply.com pada 1 Juni 2009.
Acara ini diselenggarakan oleh :
Deputi Pengembangan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan
Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena
Didukung oleh: ANNIDA & Lingkar Pena Publishing House
Keterangan lebih lanjut hubungi
Maryati (021) 573 8158, HP: 085813144822
Koko 0813 67675459
Denny 0899 9910037

Rabu, 29 April 2009

Maginda


Melamar

Kusandang senjata imajiner di pundakku. Penggemblengan mental lewat shalat-shalat malam telah pula kulakukan dalam derap-derapnya waktu yang kian terus mendekat. Kulatih pula fisik ini setegar baja berotot kawat, untuk mencegah seuatu yang gawat lewat. Aku tahu engkau adalah pria yang kuat dan nekat. Setidaknya berita itu dari beberapa rekan sejawat yang sudah ketinggalan pesawat lantaran gertakanmu yang memang mencekat nyali di rerimbun pohon-pohon Sukat. Pohon yang tumbuh dalam ilusi malam pekat orang-orang patah semangat.

Aku keluar, melintasi pagar kawat kamar kos yang bersekat dua papan belikat rancangan konstruksi nekat tuan Rahmat. Pemilik kosku yang hebat. Semua niat sudah bulat sebulat tekad dan harapan yang berkelebat. Kupacu laju sepeda motor tuaku secepat yang mungkin terlihat selama beberapa masa yang sudah lewat, motorku nggak bisa cepat. Menuju sasaran tempur yang sudah terlihat
****

Dalam, saat pandanganmu mneghujaniku dengan hujaman-hujaman yang begitu merontokkan sambungan engsel-engsel tulangku. Benar apa kata rekan sejawat, kau garang dan gawat. “Gantungkan harapanmu pada pohon Sukat! Itu adalah bahas yang kutangkap dari sorot matamu. Tidak, aku bukan mereka.

Ya, kulihat pandanganmu menghujamku, mengoyak-ngoyak seluruh rangkaian kata yang selama berhari-hari aku hapalkan dalam beberapa pekan yang sudah lewat. Senjata imaginer itu hancur bahkan sebelum aku sempat berbuat. Padahal tadi sudah bulat tekadku untuk mematahkan stereotipe rekan-rekanku sejawat. Oh engkau, kumismu yang tampak terawat tipis itu seolah tersenyum mengejek kepadaku. Pacce katanya. Janggutmu yang lebat terawat itu memandang dengan tatapan yang tidak berwarna. Entah marah, entah sumringah. Ah... sepintas kau memang sangar, eh, maksudku berwibawa. Tak tampak bahwa kau majusi, nasrani atau yahudi. Kau muslim sejati. Kau ayah sejati dari akhwat yang yang akan kupinang, permata dunia yang terus berkilauan karena memang telah dijadikan indah pada pandangan lelaki untuk menyukai dan terpesona oleh gadis. Manis.

Matamu tajam memandangku. Kumis yang tipis dan janggut lebatmu yang rapi terus menerus menerorku dari segala sisi yang mungkin. Aku yakin itu. Akan tetapi, mengingat yang menjadi pesona adalah seelok permata dunia, kukumpulkan lagi keberanianku, kubangun lagi semangatku, kukuatkan tekadku, dan kurangkai lagi kalimatku. Tak gentar aku untuk berkata:

“Bapak, izinkan saya menyunting anak bapak, menjadi ibu dan ustadzah bagi anak-anak saya kelak.”
Dahimu mengeriyit, mukamu berubah serius, aura sangar mulai memancar memenuhi ruang-ruang yang ada. Aku yakin, auramu inilah yang pernah meruntuhkan nyali-nyali ciut rekan sejawatku. Tapi aku berpantang mundur meski tunas-tunas debaran jantungku semakin subur. Sebuah janji kesempurnaan seperdua agama membentang di seberang. Seorang kawan yang siap menemani membayang di tepi depan. Tepi yang berbeda dengan yang kini kupijak di mana semua serba sendiri.

“Apakah kamu serius?” engkau bersuara juga akhirnya.
Semua sudah terlanjur terujar, aku sudah terjun dalam kolam yang memendam mutiara. Untuk kembali tanpa basah adalah sesuatu hal yang mustahil. Oleh karena itu, menyelesaikan misi mengambil mutiara harus terus berjalan, meski aku harus tenggelam lalu terpenggal dalam auramu yang begitu menggoyahkan mental-mental orang-orang ciut. Beruntung latihan mental melalui shalat malam rutin kulakukan. Memohon kekuatan pada Yang Maha Kuat lagi Menguatkan. Perang ini harus kuakhiri, apapun hasilnya. Terpenggal atau menang adalah dua kepastian yang akan aku lewati salah satunya seiring berjalannya waktu dan usahaku. Setidaknya aku sudah berjuang.

“Iya, Pak. Insya Allah.” Aku menjawab mantap meski ketegangan masih melekat dan mencekat dengan berat. Aku yankin engkau tahu bahwa insya Allah yang kuucapkan adalah Insya Allah yang sebenarnya, sesuai tuntunan Islam, yaitu sebuah kepastian dan jaminan bahwa kita akan melakukannya semampu daya, kuasa, dan upaya kita sebagai manusia, bukan Insya Allah orang-orang yang ingin lari dari janji dan kesungguhan lantas menggunakan kata itu sebagai tameng apologi atas pengingkaran janjinya. Apakah mereka tak tahu bahwa kata Insya Allah itu menunjukkan kita akan menepatinya semampu kuasa, daya dan upaya? Atau jika dinyatakan dalam persen akan berbilang 99.9%? Bagiku, jika aku khawatir tak dapat memenuhi sebuat undangan atau janji, aku lebih suka berujar aku nggak janji ketimbang berujar Insya Allah. Kata insya Allah bagiku begitu sakral.

Hirupan nafasmu menunjukkan kau sedang mempertimbangkan sesuatu. Engkaupun memperbaiki posisi dudukmu, bergeser-geser demi permukaan ternyaman dari sofa antik sederhana buatan windu kala milikmu. Gelas berisi teh itu kau raih, lalu meminum isinya dalam beberapa seruputan. Sekalilagi kau menarik nafas berat dan panjang. Aku hanya tertunduk dan menatapmu dengan sejuta ketegangan yang menggelora.

“Sesungguhnya menikah adalah menyempurnakan seperdua agama Allah,” engkau membuka pembicaraan baru. Akupun memulai debaran baru pada jantungku yang tak pernah baru meski kadang bertenaga baru: semangat yang bangkit dari layu. Engkau melanjutkan lagi
“Dan tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan untuk beribadah kepada kepada Allah.”

“Kok ndak nyambung?” Aku menanggapimu, tentu saja dalam hatiku yang terus berdebar.

“Jadi berangkatlah dari pemahaman dan kesadaran bahwa apapun yang kau lakukan di dunia ini adalah ibadah, termasuk menikah. Jadi, menikah bukan sekedar kebutuhan dasar manusia akan kawan seperjalanan dan pelestarian keturunan, melainkan yang lebih penting, ibadah. Ini perlu, agar pernikahanmu ke depan tak mudah kandas. Karena Allah saja niat itu tertuju.” Panjang lebar kau menjelaskan. Rupanya titik terang itu semakin jelas.

“Apakah engkau yakin telah benar-benar siap lahir dan batin?”

“Iya Pak, Insya Allah.” Kupikir, Insya Allah sudah cukup sebagai jawaban dan jaminan. Insya Allah yang kupahami adalah insya Allah yang dasarkan pada insya Allah para sahabat nabi, bukan ‘insya Allah’nya para pembohong bertopeng nilai islam. Tak perlu kuceritakan rangkaian usahaku meminta kekuatan ke hadirat Rabbul ‘Alamin.

“Baiklah,” engkau menyeruput tehmu lagi. Aku berpikir keputusan akan muncul. Kata baiklah biasanya adalah penanda hal itu. “Kalau begitu...” tanda itu semakin jelas,

“Minumlah dulu tehmu. Sedari tadi tiada kau menyentuhnya, kau terlihat begitu tegang” Dar! sebuah kelanjutan kalimat yang tidak kuduga menjadi jalur laluan penggalan kalimat sebelumnya. Ah....kau begitu...wow! Tak mudah menemukan padanan kata melukiskannya. Kau membaca bahasa tubuhku. Aku tersentak salah tingkah. Wah!

“Eh....iya, Pak.” Sebuah respon yang spontan karena keterkejutan. Teh ini manis, tapi tak cukup menentramkan semburat merah di wajahku yang berlari-larian panik menepi ke kulit ari.

Kulihat engkau memalingkan wajahmu ke arah dalam rumahmu, kemudian terdengar olehku kau panggil nama anak gadismumu, kawanku sekampus dulu, akhwat yang kini hendak kupinang.

“Fadilah.....sini sebentar nak!” suaramu yang khas itu mempesona. Setidaknya mempesona gadis yang kini jadi istrimu: Ibu anakmu.
Anakmu keluar dengan baju kurungnya, dengan jilbab lebarnya, simbol kemenangannya terhadap egonya akan rasa “modis permisif” yang kini sedikit demi sedikit membunuh rasa malu perempuan kebanyakan. Jilbab, simbol kemenangan wanita atas dirinya sendiri. Ia keluar sambil tertunduk dan malu. Tersipu. Tapi anggun.

“Baiklah. Aslam, lihatlah anakku dan temukan adakah sesuatu yang dapat membuatmu menyukainya dan melanggengkan pernikahan kalian kelak jika Allah berkehendak. Perekat cinta, itulah kata lainnya.” Kau berujar.
Ah....entahlah, memandang anakmu membuat sebaris rasa berkelebat aneh, menari di relung-relung hati. Lebih aneh dari rasa yang berjingkat saat kenakalanku memaksa memandangnya secara sembunyi-sembunyi di kampus dulu. Aku tahu itu tak baik, tapi mata ini terus memaksa. Nekat. Nekat sekali. Sekelibat. Padahal di akhirat mata akan ditanya. Buat apa?

“Sudah?” engkau membuyarkan eksitasi yang yang sedang kurasakan.

“Sudah.” Balasku pendek

“Fadilah, Aslam datang untuk meminangmu menjadi istrinya dan ibu serta ustadzah bagi anak-anaknya kelak. Apakah engkau mau? Jika engkau mau, aku akan menerima pinangannya, dan menikahkanmu dengannya kemudian.” Sungguh engkau wali yang bijaksana bagi anakmu.

“Jika demikian halnya, izinkan aku bermunajat terlebih dahulu kepada Memilikku, Pemilik yang sesungguhnya, Allah Ta’ala. Aku tahu, hanya ada sangat sedikit alasan yang bisa untuk menolak lelaki saleh dan berakhlak mulia, tapi izinkanlah aku memohon ketetapan hati kepada Allah, sehingga saat aku memutuskan menolak atau menerima, tak timbul penyesalan dalam hatiku.” Anakmu tertunduk lagi. Kupandangi lagi wajahnya. Dalam tiga kata kusimpulkan ia: cantik, cerdas, salehah.
“dan, sebaiknya Aslam juga melakukan hal yang sama, agar makin bulat dan mantap” Anakmu menambahkan setelah diam sejenak.

“Aslam, kau sudah mendengarnya, kembalilah kemari sepekan lagi untuk mengetahui hasilnya. Berdoalah kepada Allah, mohonlah agar ini termasuk ibadah kepada-Nya.” Engkau menandaskan.
****

Hfff..... akhirnya kelar juga. Akupun pulang dengan berjuta rasa yang bersua selaksa, entah bias entah berkas. Tapi, tekadku untuk membahagiakan kawan sekelasku itu makin bulat membawa jiwa dan niat yang ikhlas. Tak sabar kutunggu awan berarak bersama waktu yang beranjak menuju puncak: tujuh hari dari sekarang, jawaban datang.
****

Gedung Sao Panrita: Diklat Jurnalistik Estetika, 22-25 November 2007



Maginda

Sebuah Cerita tentang Kampungku

Angin senja di pesisir pantai Tanjung Rangas menerpa wajahku yang berjerawat satu dua. Kubiarkan ombak membasahi jejari kakiku sambil kulemparkan pandanganku lepas membentur pulau kecil di utara tanjung ini. Kunikmati khayalanku berkelana menembus ruang dan waktu bersama kicau burung-burung Raja Udang yang lebih elok warnanya ketimbang suaranya. Entah sudah berapa kali aku ke tanjung ini. Tak pernah kuhafalkan, tak pula kuhitungkan. Pesona yang muncul kemudian, setelah aku berdiri di tanjung ini adalah sebuah eksitasi yang membius lalu mengantarkan aku pada buaian seolah aku tidur dan bermimpi. Di tanjung ini, banyak rekaman kehidupan yang aku temukan, bersama kawanku, ayahku, dan penduduk setempat yang lainnya. Aku adalah anak kampung ini. Salah satu dari pewaris alamiah alam kampung ini. Mungkin itulah yang menjadikan pesona tanjung ini tak lekang di otakku.


ekitar dua puluh tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SD, kampungku masih berupa desa pantai di atas tanjung dengan formasi pes caprae di pantai barat dan berbagai jenis mangrove di pantai timur. Tak ada tower HP. Tak ada dermaga kapal baja. Tak ada antena parabola. Bahkan hingga sepuluh tahun setelahnya pete’-pete’ pun jarang masuk ke kampungku. Yang aku pikirkan, ini karena medan di kampungku ini kurang bersahabat dengan mobil. Ya, semakin ke darat, kampungku semakin bergunung-gunung dengan beraneka ragam pepohonan yang dapat menyokong air bagi kami yang tinggal di pesisir dan di pedalaman. Oleh karena itu, jalanan menuju kampungku sangat ekstrem dengan berbagai tanjakan, turunan, dan kelokan yang tajam. Ayahku atau tetanggaku lebih suka mengemudikan perahu cadik bermesin untuk ke kota di tepi teluk sana, berbelanja sembako daripada harus menunggu pete’-pete’ dari pagi hingga waktu yang tak dapat dipastikan tepatnya.

Yang juga masih kuingat dan tak akan habis kukenang adalah masa kecilku. Jika musim Penja (ikan seribu, lebih kecil dari teri. Jawa: Impun) tiba aku dan Mail —kawan sekelasku dari SD-SMA— pergi menangkap ikan yang hendak bertelur di hulu ini bersama kawan-kawanku yang lain. Ikan ini mirip ikan Salmon, bermigrasi ke hulu sungai untuk bertelur. Atau jika musim kepiting, kami berbondong-bondong ke hutan mangrove di timur untuk berburu hewan bercapit itu. Setiap hari senja seperti saat ini, kami menghabiskan waktu bermain di pantai yang sekarang kutempati berpijak. Membangun istana dan benteng dari pasir dan membuat hiasannya dari bunga-bunga pes caprae yang banyak merambat di pinggir pantai. Jika kami membuat kubah, maka hampir dapat dipastikan kami akan menyematkan buah pes caprae di puncak kubah itu. Sebuah kegembiraan masa kecil mempesona setiap insan yang akan beranjak ke usia senja.

Aku semakin terlarut di bibir pantai ini saat kudengar sebuah suara wanita muda, menegurku. Usianya terpaut tiga tahun dariku.

“Yang, pulang yuk, sebentar lagi magrib. Ada pesan dari Pua’ Imam, gantikan-i dulu bede’. Ada urusannya di kota di rumah keluarganya sampai besok.” ia mengingatkanku untuk tak lupa memimpin jamaah magrib di masjid. Ia sahabat terbaikku satu tahun belakang ini. Sahabat yang senantiasa memanggilku dengan kata penggalan sayang, sahabat yang akan menemaniku melewatkan hari bersama anak-anak kami kelak, sahabat yang benar-benar sejati. Namanya Ennid, istriku yang sementara mengandung anak pertama kami.

“Baiklah.” jawabku sembari berbalik dan mengambil sandal lalu berjalan menggandeng tangan sahabat sejatiku.

“Sebenarnya apa yang kita’ kerja di pantai tiap sore?” ia bertanya. Nampak di wajahnya rasa penasaran yang amat dalam. Ennid adalah warga kampung ini juga. Sebelum kami menikah, ia adalah tetanggaku, kawan sepermainan, adik kelas, junior di kampus, dan banyak lagi dimensi lainnya. Logatnya sebagai penduduk asli Sulawesi bagian barat masih sangat kental.

“Entahlah, aku mengingat berbagai kenangan masa kecil kita di pantai ini. Bersama Mail, Rustam, Azwar, Unyul, Unyil, trus… ini, e… siapa lagi..? mmm… kakaknya Iffah, yang pintar menangkap kepiting?” aku kesulitan mengingat nama seorang kawanku.

“Ooo…. itu Mira!” istriku menjawab.

“Ya. Yang paling berkesan bagiku saat kami berlomba menangkap kepiting. Aku paling suka bersama Mira dan Rustam. Mereka sangat cekatan menaklukkan kepiting. Apalagi jika mulai menangkap kepiting capit satu untuk aduan, bahkan Mail sang Tarzan laut pun kalah.”

“Ada jia Tarzan kalah?” istriku protes atas penamaan Tarzan pada Mail. Logat Rangasnya tak hilang. Ada jia jika dipadankan dalam bahasa Indonesia akan padan dengan mengapa bisa atau kok bisa. Intinya ekspresi heran campur protes plus mencibir.

“Iya, tetapi dia paling jago kalo urusan menyelam atau menaklukkan bulu babi, menangkap penja dengan sedikit pasir, dan balapan perahu” aku menjelaskan pada istriku alasan kami dulu memberi nama Mail sebagai Tarzan. Istriku dulu juga adalah mereka yang menghabiskan senggang dengan bermain beraneka permainan anak pesisir, namun tak termasuk dalam komunitasku. Mungkin karena perbedaan usia dan kegemaran.

“Sekarang dari mereka yang tinggal hanya kita’ dan Rustam. Yang lain kemana semua Yang?” ia bertanya lagi.

“Mencari kehidupan.” Kataku singkat sambil menghembuskan nafas berat. Ada kerinduan menggelayut di hatiku. Selepas SMA kami berpisah mengadu nasib di kampung orang. Tujuh tahun aku meninggalkan kampung ini untuk menuntut ilmu dan selama itu, hanya dua kali aku pulang: setelah empat tahun, dan saat aku akan menikah dan kemidian memutuskan untuk tetap menetap. Tak lagi pernah kudengar berita dan cerita tentang kawan-kawan sepermainanku di usia dewasa mereka kecuali setelah kemajuan teknologi dan peresmian kota pinggir teluk itu menjadi ibukota propinsi. Kedua hal itu bersamaan. Sekarang, bukan hanya di kota pinggir teluk itu, bahkan di kampungku pun telah banyak berdiri tinggi menjulang menara-menara yang menikam langit di pucuk-pucuk bukit tempat aku dan Mail dulu pernah berburu burung punai. Mereka menyebutnya dengan tower HP. Bahkan karena begitu latahnya, sebagian mereka juga menyebut menara masjid dengan tower masjid. Seperti tak percaya diri saja dengan kata menara yang notabene adalah bahasa kita sendiri.

“Yang, duluanka’ na. cepat-cepat mi ki’ ke masjid. Assalamu’alaikum!” Istriku berbelok ke halaman rumah kami.

“Wa’alaikum salam!” ujarku menjawab salamnya.

Rumah kami memang sangat dekat dengan pantai, seperti pada umumnya tipikal masyarakat yang hidup di pesisir. Kami bukan tak takut pada potensi tsunami, tetapi kami yakin bahwa tak akan ada mudharat ataupun manfaat tanpa Allah Jalla wa ‘Ala berkehendak kepada kami. Kami juga adalah masyarakat yang hidup dari laut dan sekitarnya, tak mungkkin kami meninggalkannya begitu saja.

Setelah berjalan sejauh dua puluh meter, tibalah aku di masjid. Tak lama kemudian seorang muadzin mengumandangkan adzan tanda panggilan untuk menghadap Ilahi. Tak banyak orang datang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan ukuran masjid megah di sebuah kampung di pinggir kota propinsi yang tak lagi kampungan. Sungguh berbeda waktu kami kecil di sini. Selepas magrib, tak ada anak-anak yang bemain di pantai atau di halaman rumah. Kami semua mengaji kepada Pua’ Imam, belajar hadits atau mendengarkan hikayat-hikayat penuh nasihat.

Sungguh sangat berbeda kini. Anak-anak tak lagi suka belajar dan bermain pada alam sekitar mereka melainkan bermain playstation hingga berjam-jam. Jika waktu kami bermain dulu terbatas oleh suara azan, maka waktu bermain anak-anak di kampungku kini terbatas oleh uang. Jika uang sewa sudah habis, barulah mereka berhenti bermain. Senada dengan playstation, permainan berbasis komputer juga sudah ramai memasuki kampung halamanku. Tak heran jika mereka masih kecil sudah berkacamata tebal lantaran sering menatap radiasi layar televisi atau layar komputer atau berbadan gemuk rentan penyakit lantaran tak pernah bergerak (kecuali menggerakkan mouse komputer atau joypad stik PS) membakar kalori. Fenomena inilah yang sering dicurhatkan Pua’ Imam kepadaku. Betapa pusat bermain elektronis telah menjadi rumah ibadah bagi mereka. Seakan kehabisan cara Pua’ Imam mencegah dampak negatif globalisasi mengharu-biru generasi kampung kami.

Tetapi inilah faktanya. Generasi yang datang shalat magrib hanya beberapa saja. Entahlah, sendiri aku tak mampu membendung dampak perubahan jaman yang begitu hebat menggeliat. Di pikiranku kini aku hanya ingin memimpin shalat hingga usai seperti amanah Pua’ Imam yang disampaikan istriku.

Sepulang dari masjid, kulangkahkan kakiku menuju rumah Unyul dan Unyil. Mereka adalah saudara kembar. Dibandingkan dengan kami, rekan sepermainan mereka, merekalah yang tergolong paling sukses. Unyul bekerja di salah satu bank ternama di negeri ini dengan jabatan yang cukup tinggi di kantor wilayah. Unyil memiliki rumah produksi sinetron yang sangat laris di setiap stasiun televisi nasional negeri ini. Mereka juga membiayai beberapa anak-anak cerdas dari kampung ini untuk bersekolah di luar. Kami—penduduk desa—tahu itu. Hanya yang kudengar ia tak pernah lagi pulang kampung.

“Assalamualaikum!” ucapku dengan suara yang agak sedikit keras setibaku di depan pintu rumah Unyul dan Unyil.

“Waalaikum salam! Siapa?” sebuah suara tua menyahut dari rumah besar ini.

“Saya, Aswan.” Jawabku. Menyebut nama lebih utama dinding hanya mengucap kata saya. Bukankah semua orang bisa berkata saya?

“Oh... kamu nak. Mari masuk.” Ayah Unyul mempersilakanku.

Aku kemudian duduk di sofa yang empuk dan nyaman. Kulihat interior rumah ini cukup mewah dibanding rumah lain yang umum di kampungku.

“Unyul dan Unyil apa kabar pak? Setahun saya di sini dia kok tidak pernah kelihatan?” Aku bertanya.

“Entahlah nak, mereka katanya sibuk sekali. Sejak mereka berangkat kuliah hingga kini sudah kerja, tak pernah pulang. Paling-paling Cuma menelepon.” Jawab ayah Unyul dan Unyil. Matanya menyimpan kerinduan yang membuncah. keningnya yang tua berkerut dalam garis-garis kulit keriput dimakan usia.

“Walaupun lebaran?” tanyaku lagi. Aku heran saja, bagaimana kedua temanku itu membangun rumah orang tuanya tanpa datang dan mengontrol prosesnya.

“Ya. Mereka menelepon dan mengirim SMS. ‘Kan sekarang pulsa murah? Tetapi mengapa tak sempatkan pulang. Sesibuk apapun, jika lebaran pasti libur. Apalagi tempat kerjanya bukan ji yang kerja terus waktu libur kayak televisi, transportasi, penitipan atau apa lah. Unyil juga ‘kan paling bos, masa tidak bisa meliburkan karyawannya?” dari tuturnya, kulihat ada kekecewaan di rona orang tua ini.

“Mungkin mereka tidak kebagian tiket?” aku mencoba menepis kekecewaan yang bergelayut di hatinya.

“Tak mungkin, mereka berkecukupan uang. Mereka bisa pesan jauh hari sebelumnya. Lihatlah rumah ini. Semua gambar, biaya, teknisi, dan pekerja diaturnya dari sana dengan menyewa konsultan dan pemborong. Mereka terima jadi, aku juga cuma nonton. Jika dulu masih kuliah tak pulang wajar saja karena aku memang tak sanggup membayarkan sewa mobil mereka. Dan lebih baik uang sewa itu di pakai hidup di sana lebih lama dari waktu pulang libur.” Kembali ia berbicara sambil menghisap racun tembakau ke dalam tubuhnya. Orang tua ini cukup cerdas mencerdaskan kedua anaknya, tetapi tak cukup cerdas mencerdaskan dirinya bahwa rokok itu beracun.

“Mungkin memang lagi sibuk Om, siapa juga yang tidak mau pulang?” kembali aku mencoba membesarkan hatinya. Pertanyaanku tentang desain rumah ini terjawab sudah tanpa aku bertanya.

“Iya, tetapi tetap lebih afdhol kalo langsung pulang ke sini, melihat orang tua satu-satunya ini.” Kembali racun terhembus dari bibir dan hidungnya sembari berbicara.

“Iya juga ya Om.” Aku tak mau melawan argumennya. Yang kulihat di kampungku sekarang memang begitu. Lebaran beberapa bulan yang lalu terasa tak meriah. Tak ada lagi jalan-jalan yang dipenuhi anak-anak ma’siarah. Tak ada lagi remaja dan anak muda yang begitu antusias bersilaturahmi ke tetangga. Paling banter mereka hanya mendatangi tetangga radius satu rumah. Lebih dari itu mereka merasa cukup mengirim rangkaian kalimat puitis penuh makna untuk meminta maaf sebagai ganti silaturahmi. Teknologi ini memang memudahkan orang untuk meminta maaf, tetapi justru membuat orang menggampangkannya dan menghapuskan nilai kesakralannya. Selepas bersilaturahmi pada tetangga radius satu rumah, mereka lalu memacu kendaraan mereka menuju tempat wisata alam di kota di tepi teluk itu. Ada Kali So’do, air terjun Tamasapi, Anjoro Pitu, atau yang lainnya. Aku sendiri juga heran, yang kutahu di masa kecilku, saat lebaran kami mengunjungi semua rumah yang masih sekampung dengan kami. Bahkan jika tak selesai, kami tetap melanjutkannya hingga lebaran ketupat. Memang lebaran ketupat tidak ada dalilnya, tetapi kami lebih memanfaatkan tujuh hari itu untuk bersilaturahmi lebih erat dan intensif lagi.

Akhirnya, malam itu aku dan ayah Unyul dan Unyil menghabiskan waktu membahas dampak negatif perubahan zaman ini. Aku kagum pada ketajaman analisanya di usia senjanya ini. Bagiku perubahan ini mungkin tak terlalu terasa, atau aku yang tak peka, tetapi bagi orang tua ini sungguh berbeda.

Tetapi begitulah kini kenyataannya. pes caprae yang dulu menghampar luas kini hanya tinggal beberapa lebar saja dibanguni bangunan aneka, kepiting sudah tak lagi mudah ditemukan lantaran mangrove juga sudah jarang, hanya tinggal ikan penja atau ikan seribu yang bertahan. Mereka masih ikan seribu dan mudah mudahan tak akan mereka menjadi ikan sepuluh. Pohon-pohon tinggi di puncak bukit telah tiada berganti dengan menara-menara yang menikam langit. Penjual kartu lebaran dan kertas surat sahabat pena telah berganti menjadi penjual pulsa dan buku kumpulan SMS canda, cinta, dan jenaka. Demikian pula perubahanku: dulu aku anak-anak, sekarang aku calon bapaknya anak-anak. Tapi itulah kampungku kini. Kampung yang kucintai. Dan entah mengapa aku begitu merindukan Ennid istiku di rumah yang tengah mengandung anakku.

“Om saya pamit dulu, udah malam” Ujarku mohon diri.



****

Makassar 22 Desember 2008

Mamujuku dulu dan kini:

Aku masih milikmu




Sekilas FLP UNM


Sirah FLP UNM
Pertengahan Agustus 2008_Menjelang Detik-Detik Ramadhan 1429 H. Berawal dari niat suci untuk menegakkan sastra islami yang 'mencerahkan'dan keinginan untuk menyatukan potensi penulis muda muslim yang terserak dikampus 'Oemar Bakri', terbentuklah FLP UNM tepatnya tanggal 8 Agustus 2008. Komunitas penulis yang digawangi oleh Ahmad Alisyahbana (Alhie), Nuraeni (Keny), Ayu Nirmawati Muhammad, Dasnah, Lismayana (Nadiyah), Sabir Muktar,Latifah, Ahmad Riyadi Yunus(Adi) dkk ini adalah FLP Ranting' paling bungsu' dalam struktur kepengurusan FLP 2008. Dengan konsep'dakwah bil lisan' sebagai corenya, keluarga kecil FLP UNM berharap bisa turut andil dalam memberikan yang positif bagi generasi muda yang concern dengan fiksi.
When the Dream Has COme ....
Berawal dari nawaitu suci memberikan'warisan abadi' untuk almamater tercinta, aa'Alhie(afwan, tidak ada maksud untuk narsis atau menyombongkan diri_semoga Allah mengampuni niat''takabur yang terselubung dalam relung hati sosok ikhwan yang satu ini) salah satu alumni Training of Recruitment(ToR) FLP SulSel pada awal 2007 silam, bertekad bulat mendirikan FLP UNM. Bersama dengan beberapa alumni lainnya, sebutlah Ayu, Keny, Lisma,Dasnah, Alhie memulai first stepnya. Hatta, tak semudah membalikkan telapak tangan begitu banyak aral rintangan yang menghadang. Karena kesibukan kuliah, organisasi, dan cari'maisyah' para penggagas ini, FLP UNM yang sekiranya akan dibentuk bulan April baru terealisasi pada bulan Agustus 2008. Sultan Sulaiman, sang ketua FLP Wilayah terpilih yang berhasil melengserkan rezim'Gegge S. Mappanggewa' adalah salah satu sosok penting dalam kelahiran FLP UNM. Desakan dan sindiran bertubi-tubi dari sang qiyadah FLP ini menjadi cambuk untuk segera melahirkan FLP UNM dari janinnya. betapa tidak, Alhie cs adalah yang pertama kali_kalo tidak salah!_mengajukan proposal pendirian FLP ranting except UNHAS, namun telah didahului oleh kampus2 lain seperti Univ.45, STAIN, bahkan oleh kampus kecil sekelas STIS Azhar centre. Salah satu commentKetua FLP Wil. yang paling berkesan oleh Alhie cs adalah "apaji UNM ini, mana mi, katanya mau bikin FLP. Masak kampus besar kayak gini ga'ada FLPnya."Comment ini sarat desakan untuk segera meng-establish FLP ranting UNM.
Ga' ada Akar Rotan pun Jadi!
Ada banyak hal berkesan menjelang launching FLP UNM. Masalah yang paling urgent adalah soal fulus, personil, dan administrasi. "Ga ada duit, akh/ukh!"adalah complain yang paling sering meluncur dari lisan-lisan pendiri FLP UNm. Tak kehabisan akal,"Ngutang adalah satu-satunya cara"setelah dana hasil les-lesan_jangan dibilang ngemis ya!dari para muwafiq dan donator tidak mencukupi. Alhasil, atas inisiatif Azwar Tahir, peminat FLP dari himpunan mahasiswa Jur. Bhs. Inggris bersedia meminjamkan fulus senilai...(ga-usah disebutkan ya!malu..) alhamdulillah cukup untuk kegiatan(sudah dibayar dikemudian hari) Yang juga tidak terlupakan adalah kedermawanan ukhti Dasnah and Kurni yang bersedia berinvestasi akhirat dengan mendonasikan uangnya dan mengurus tempat kegiatan (syukran ya, moga Allah menjadikannya amal jariyah.ameen!). Thanks also for Feryn from KMM Asy-Syamil,sudah cape-cape' meminjamkan sound system dan persuratan. Problem soal personil akhirnya teratasi dengan bantuan dari ikhwan-akhwat KAMMI UNM. Jazakallah ya!Oops, satu lagi yang paling bekesan, malam sebelum hari-H launching FLP UNM, ga ada yang mau menawarkan diri buat spanduk.Pasalnya, ga'ada kain dan bahan2nya. So, terpaksa deh aa'dibantu Ansarullah buat spanduk dari kain bekas_lebih mirip kain kafan yang sudah lusuh kodong. Parahnya lagi, tulisannya dibuat dari kertas pembungkus kado warna hijau yang tipis banget. Alhasil, tulisannya miring, naik-turun gunung dengan spasi berantakan. Sudah begitu lemnya kadaluarsa lagi. Alhamdullillah, dalam satu malam, spanduk tiada duanya ini jadi juga.
Hari-H yang dinantikan
Pagi menjelang siang, Alhie, Dasnah, Keny, Ayu,Lisma, Kurni, Sabir dan beberapa teman yang lain(afwun, kalo ada yang tidak sempat disebut) sudah mulai sibuk-sibuk. Launching FLP UNM rencananya akan dirangkaikan dengan kegiatan bedah buku "Ketika Cinta Bertasbih"by S.Putra Sulaiman, ketua FLP Wil.SulSel (buat sang qiyadah tercinta kami, afwan kalo pelayanannya waktu itu kurang berkenan,maksud ane gak ada akomodasi khusus dan sertifikat pemateri!). Launching FLP UNM yang sedianya start Jam 1 siang Ba'da Dhuhur molor menjelang ashar. Cause masih banyak yang ga'siap. Finally, jam 2 siang lewat banyak disebuah ruangan dengan kode DG dikampus Fakultas Bahasa dan Seni, UNM parang tambung berlangsunglah sebuah peristiwa bersejarah_setidaknya bagi kami penggagas FLP UNM yang sudah'berdarah-darah'bekerja dengan infrastuktur serba minim sampai-sampai gak mandi dan lupa makan seharian. Darah berdesir hebat, keharuan memuncak, dan kebanggan menjulang begitu palu diketuk oleh sang ketua dengan kalimat "...dengan ini FLP UNM resmi berdiri!"Kalimat ini begitu hebat berdegung di gendang telingaku dan juga teman2 lain.
"Allahu akbar, alhamdullillah, thanks ya Robb. My dream has come true. semoga Engkau berkenan mencatatkan apa yang kami buat sebagai amal jariyah di sisimu dan sebagai 'warisan' kami buat almamater tercinta dan adik-adik penerus kami. Kelak inilah 'saksi nyata'kami di pengadilanmu" doaku dalam hati. Ada bulir bening hangat yang hampir menetes diekor mata ini (jangan dibilang jabe'cess na, terharu tepatnya!)
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Ba'da ashar, " Launching FLP UNM plus bedah buku Ketika Cinta Bertasbih"tiba pada penghujungnya. Ada perasaan lega menelungkup hati. Alhamdullillah satu tugas besar telah selesai.
Rencana Lanjutan...
Sesuai instruksi Pak Ketua FLP Wil.selanjutnya adalah tahap konstruksi struktur. Dimana-mana, saya dan teman2 mempromosikan bahwa FLP UNm sudah terbentuk. Ajaibnya, banyak yang berminat untuk menjadi anggota komunitas ini. Bahkan, ada yang nelpon, mengiba-iba untuk dimasukkan jadi pengurus (sadis amat yah!). Tidak cuma sanpai disitu, ana juga menjalin network dengan dosen-dosen. Ibarat gayung bersambut, seorang dosen yang kami biasa sapa "Bu Fitri"berkenan untuk menjadi pembina. Bravo FLP UNM!!!