Sponsor


ShoutMix chat widget

Rabu, 29 April 2009

Maginda

Posted on 09.36 by Lahir untuk sebuah dakwah bilqalam


Melamar

Kusandang senjata imajiner di pundakku. Penggemblengan mental lewat shalat-shalat malam telah pula kulakukan dalam derap-derapnya waktu yang kian terus mendekat. Kulatih pula fisik ini setegar baja berotot kawat, untuk mencegah seuatu yang gawat lewat. Aku tahu engkau adalah pria yang kuat dan nekat. Setidaknya berita itu dari beberapa rekan sejawat yang sudah ketinggalan pesawat lantaran gertakanmu yang memang mencekat nyali di rerimbun pohon-pohon Sukat. Pohon yang tumbuh dalam ilusi malam pekat orang-orang patah semangat.

Aku keluar, melintasi pagar kawat kamar kos yang bersekat dua papan belikat rancangan konstruksi nekat tuan Rahmat. Pemilik kosku yang hebat. Semua niat sudah bulat sebulat tekad dan harapan yang berkelebat. Kupacu laju sepeda motor tuaku secepat yang mungkin terlihat selama beberapa masa yang sudah lewat, motorku nggak bisa cepat. Menuju sasaran tempur yang sudah terlihat
****

Dalam, saat pandanganmu mneghujaniku dengan hujaman-hujaman yang begitu merontokkan sambungan engsel-engsel tulangku. Benar apa kata rekan sejawat, kau garang dan gawat. “Gantungkan harapanmu pada pohon Sukat! Itu adalah bahas yang kutangkap dari sorot matamu. Tidak, aku bukan mereka.

Ya, kulihat pandanganmu menghujamku, mengoyak-ngoyak seluruh rangkaian kata yang selama berhari-hari aku hapalkan dalam beberapa pekan yang sudah lewat. Senjata imaginer itu hancur bahkan sebelum aku sempat berbuat. Padahal tadi sudah bulat tekadku untuk mematahkan stereotipe rekan-rekanku sejawat. Oh engkau, kumismu yang tampak terawat tipis itu seolah tersenyum mengejek kepadaku. Pacce katanya. Janggutmu yang lebat terawat itu memandang dengan tatapan yang tidak berwarna. Entah marah, entah sumringah. Ah... sepintas kau memang sangar, eh, maksudku berwibawa. Tak tampak bahwa kau majusi, nasrani atau yahudi. Kau muslim sejati. Kau ayah sejati dari akhwat yang yang akan kupinang, permata dunia yang terus berkilauan karena memang telah dijadikan indah pada pandangan lelaki untuk menyukai dan terpesona oleh gadis. Manis.

Matamu tajam memandangku. Kumis yang tipis dan janggut lebatmu yang rapi terus menerus menerorku dari segala sisi yang mungkin. Aku yakin itu. Akan tetapi, mengingat yang menjadi pesona adalah seelok permata dunia, kukumpulkan lagi keberanianku, kubangun lagi semangatku, kukuatkan tekadku, dan kurangkai lagi kalimatku. Tak gentar aku untuk berkata:

“Bapak, izinkan saya menyunting anak bapak, menjadi ibu dan ustadzah bagi anak-anak saya kelak.”
Dahimu mengeriyit, mukamu berubah serius, aura sangar mulai memancar memenuhi ruang-ruang yang ada. Aku yakin, auramu inilah yang pernah meruntuhkan nyali-nyali ciut rekan sejawatku. Tapi aku berpantang mundur meski tunas-tunas debaran jantungku semakin subur. Sebuah janji kesempurnaan seperdua agama membentang di seberang. Seorang kawan yang siap menemani membayang di tepi depan. Tepi yang berbeda dengan yang kini kupijak di mana semua serba sendiri.

“Apakah kamu serius?” engkau bersuara juga akhirnya.
Semua sudah terlanjur terujar, aku sudah terjun dalam kolam yang memendam mutiara. Untuk kembali tanpa basah adalah sesuatu hal yang mustahil. Oleh karena itu, menyelesaikan misi mengambil mutiara harus terus berjalan, meski aku harus tenggelam lalu terpenggal dalam auramu yang begitu menggoyahkan mental-mental orang-orang ciut. Beruntung latihan mental melalui shalat malam rutin kulakukan. Memohon kekuatan pada Yang Maha Kuat lagi Menguatkan. Perang ini harus kuakhiri, apapun hasilnya. Terpenggal atau menang adalah dua kepastian yang akan aku lewati salah satunya seiring berjalannya waktu dan usahaku. Setidaknya aku sudah berjuang.

“Iya, Pak. Insya Allah.” Aku menjawab mantap meski ketegangan masih melekat dan mencekat dengan berat. Aku yankin engkau tahu bahwa insya Allah yang kuucapkan adalah Insya Allah yang sebenarnya, sesuai tuntunan Islam, yaitu sebuah kepastian dan jaminan bahwa kita akan melakukannya semampu daya, kuasa, dan upaya kita sebagai manusia, bukan Insya Allah orang-orang yang ingin lari dari janji dan kesungguhan lantas menggunakan kata itu sebagai tameng apologi atas pengingkaran janjinya. Apakah mereka tak tahu bahwa kata Insya Allah itu menunjukkan kita akan menepatinya semampu kuasa, daya dan upaya? Atau jika dinyatakan dalam persen akan berbilang 99.9%? Bagiku, jika aku khawatir tak dapat memenuhi sebuat undangan atau janji, aku lebih suka berujar aku nggak janji ketimbang berujar Insya Allah. Kata insya Allah bagiku begitu sakral.

Hirupan nafasmu menunjukkan kau sedang mempertimbangkan sesuatu. Engkaupun memperbaiki posisi dudukmu, bergeser-geser demi permukaan ternyaman dari sofa antik sederhana buatan windu kala milikmu. Gelas berisi teh itu kau raih, lalu meminum isinya dalam beberapa seruputan. Sekalilagi kau menarik nafas berat dan panjang. Aku hanya tertunduk dan menatapmu dengan sejuta ketegangan yang menggelora.

“Sesungguhnya menikah adalah menyempurnakan seperdua agama Allah,” engkau membuka pembicaraan baru. Akupun memulai debaran baru pada jantungku yang tak pernah baru meski kadang bertenaga baru: semangat yang bangkit dari layu. Engkau melanjutkan lagi
“Dan tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan untuk beribadah kepada kepada Allah.”

“Kok ndak nyambung?” Aku menanggapimu, tentu saja dalam hatiku yang terus berdebar.

“Jadi berangkatlah dari pemahaman dan kesadaran bahwa apapun yang kau lakukan di dunia ini adalah ibadah, termasuk menikah. Jadi, menikah bukan sekedar kebutuhan dasar manusia akan kawan seperjalanan dan pelestarian keturunan, melainkan yang lebih penting, ibadah. Ini perlu, agar pernikahanmu ke depan tak mudah kandas. Karena Allah saja niat itu tertuju.” Panjang lebar kau menjelaskan. Rupanya titik terang itu semakin jelas.

“Apakah engkau yakin telah benar-benar siap lahir dan batin?”

“Iya Pak, Insya Allah.” Kupikir, Insya Allah sudah cukup sebagai jawaban dan jaminan. Insya Allah yang kupahami adalah insya Allah yang dasarkan pada insya Allah para sahabat nabi, bukan ‘insya Allah’nya para pembohong bertopeng nilai islam. Tak perlu kuceritakan rangkaian usahaku meminta kekuatan ke hadirat Rabbul ‘Alamin.

“Baiklah,” engkau menyeruput tehmu lagi. Aku berpikir keputusan akan muncul. Kata baiklah biasanya adalah penanda hal itu. “Kalau begitu...” tanda itu semakin jelas,

“Minumlah dulu tehmu. Sedari tadi tiada kau menyentuhnya, kau terlihat begitu tegang” Dar! sebuah kelanjutan kalimat yang tidak kuduga menjadi jalur laluan penggalan kalimat sebelumnya. Ah....kau begitu...wow! Tak mudah menemukan padanan kata melukiskannya. Kau membaca bahasa tubuhku. Aku tersentak salah tingkah. Wah!

“Eh....iya, Pak.” Sebuah respon yang spontan karena keterkejutan. Teh ini manis, tapi tak cukup menentramkan semburat merah di wajahku yang berlari-larian panik menepi ke kulit ari.

Kulihat engkau memalingkan wajahmu ke arah dalam rumahmu, kemudian terdengar olehku kau panggil nama anak gadismumu, kawanku sekampus dulu, akhwat yang kini hendak kupinang.

“Fadilah.....sini sebentar nak!” suaramu yang khas itu mempesona. Setidaknya mempesona gadis yang kini jadi istrimu: Ibu anakmu.
Anakmu keluar dengan baju kurungnya, dengan jilbab lebarnya, simbol kemenangannya terhadap egonya akan rasa “modis permisif” yang kini sedikit demi sedikit membunuh rasa malu perempuan kebanyakan. Jilbab, simbol kemenangan wanita atas dirinya sendiri. Ia keluar sambil tertunduk dan malu. Tersipu. Tapi anggun.

“Baiklah. Aslam, lihatlah anakku dan temukan adakah sesuatu yang dapat membuatmu menyukainya dan melanggengkan pernikahan kalian kelak jika Allah berkehendak. Perekat cinta, itulah kata lainnya.” Kau berujar.
Ah....entahlah, memandang anakmu membuat sebaris rasa berkelebat aneh, menari di relung-relung hati. Lebih aneh dari rasa yang berjingkat saat kenakalanku memaksa memandangnya secara sembunyi-sembunyi di kampus dulu. Aku tahu itu tak baik, tapi mata ini terus memaksa. Nekat. Nekat sekali. Sekelibat. Padahal di akhirat mata akan ditanya. Buat apa?

“Sudah?” engkau membuyarkan eksitasi yang yang sedang kurasakan.

“Sudah.” Balasku pendek

“Fadilah, Aslam datang untuk meminangmu menjadi istrinya dan ibu serta ustadzah bagi anak-anaknya kelak. Apakah engkau mau? Jika engkau mau, aku akan menerima pinangannya, dan menikahkanmu dengannya kemudian.” Sungguh engkau wali yang bijaksana bagi anakmu.

“Jika demikian halnya, izinkan aku bermunajat terlebih dahulu kepada Memilikku, Pemilik yang sesungguhnya, Allah Ta’ala. Aku tahu, hanya ada sangat sedikit alasan yang bisa untuk menolak lelaki saleh dan berakhlak mulia, tapi izinkanlah aku memohon ketetapan hati kepada Allah, sehingga saat aku memutuskan menolak atau menerima, tak timbul penyesalan dalam hatiku.” Anakmu tertunduk lagi. Kupandangi lagi wajahnya. Dalam tiga kata kusimpulkan ia: cantik, cerdas, salehah.
“dan, sebaiknya Aslam juga melakukan hal yang sama, agar makin bulat dan mantap” Anakmu menambahkan setelah diam sejenak.

“Aslam, kau sudah mendengarnya, kembalilah kemari sepekan lagi untuk mengetahui hasilnya. Berdoalah kepada Allah, mohonlah agar ini termasuk ibadah kepada-Nya.” Engkau menandaskan.
****

Hfff..... akhirnya kelar juga. Akupun pulang dengan berjuta rasa yang bersua selaksa, entah bias entah berkas. Tapi, tekadku untuk membahagiakan kawan sekelasku itu makin bulat membawa jiwa dan niat yang ikhlas. Tak sabar kutunggu awan berarak bersama waktu yang beranjak menuju puncak: tujuh hari dari sekarang, jawaban datang.
****

Gedung Sao Panrita: Diklat Jurnalistik Estetika, 22-25 November 2007



No Response to "Maginda"

Leave A Reply