Sponsor
Rabu, 29 April 2009
Maginda
Sebuah Cerita tentang Kampungku
Angin senja di pesisir pantai Tanjung Rangas menerpa wajahku yang berjerawat satu dua. Kubiarkan ombak membasahi jejari kakiku sambil kulemparkan pandanganku lepas membentur pulau kecil di utara tanjung ini. Kunikmati khayalanku berkelana menembus ruang dan waktu bersama kicau burung-burung Raja Udang yang lebih elok warnanya ketimbang suaranya. Entah sudah berapa kali aku ke tanjung ini. Tak pernah kuhafalkan, tak pula kuhitungkan. Pesona yang muncul kemudian, setelah aku berdiri di tanjung ini adalah sebuah eksitasi yang membius lalu mengantarkan aku pada buaian seolah aku tidur dan bermimpi. Di tanjung ini, banyak rekaman kehidupan yang aku temukan, bersama kawanku, ayahku, dan penduduk setempat yang lainnya. Aku adalah anak kampung ini. Salah satu dari pewaris alamiah alam kampung ini. Mungkin itulah yang menjadikan pesona tanjung ini tak lekang di otakku.
ekitar dua puluh tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SD, kampungku masih berupa desa pantai di atas tanjung dengan formasi pes caprae di pantai barat dan berbagai jenis mangrove di pantai timur. Tak ada tower HP. Tak ada dermaga kapal baja. Tak ada antena parabola. Bahkan hingga sepuluh tahun setelahnya pete’-pete’ pun jarang masuk ke kampungku. Yang aku pikirkan, ini karena medan di kampungku ini kurang bersahabat dengan mobil. Ya, semakin ke darat, kampungku semakin bergunung-gunung dengan beraneka ragam pepohonan yang dapat menyokong air bagi kami yang tinggal di pesisir dan di pedalaman. Oleh karena itu, jalanan menuju kampungku sangat ekstrem dengan berbagai tanjakan, turunan, dan kelokan yang tajam. Ayahku atau tetanggaku lebih suka mengemudikan perahu cadik bermesin untuk ke kota di tepi teluk sana, berbelanja sembako daripada harus menunggu pete’-pete’ dari pagi hingga waktu yang tak dapat dipastikan tepatnya.
Yang juga masih kuingat dan tak akan habis kukenang adalah masa kecilku. Jika musim Penja (ikan seribu, lebih kecil dari teri. Jawa: Impun) tiba aku dan Mail —kawan sekelasku dari SD-SMA— pergi menangkap ikan yang hendak bertelur di hulu ini bersama kawan-kawanku yang lain. Ikan ini mirip ikan Salmon, bermigrasi ke hulu sungai untuk bertelur. Atau jika musim kepiting, kami berbondong-bondong ke hutan mangrove di timur untuk berburu hewan bercapit itu. Setiap hari senja seperti saat ini, kami menghabiskan waktu bermain di pantai yang sekarang kutempati berpijak. Membangun istana dan benteng dari pasir dan membuat hiasannya dari bunga-bunga pes caprae yang banyak merambat di pinggir pantai. Jika kami membuat kubah, maka hampir dapat dipastikan kami akan menyematkan buah pes caprae di puncak kubah itu. Sebuah kegembiraan masa kecil mempesona setiap insan yang akan beranjak ke usia senja.
Aku semakin terlarut di bibir pantai ini saat kudengar sebuah suara wanita muda, menegurku. Usianya terpaut tiga tahun dariku.
“Yang, pulang yuk, sebentar lagi magrib. Ada pesan dari Pua’ Imam, gantikan-i dulu bede’. Ada urusannya di kota di rumah keluarganya sampai besok.” ia mengingatkanku untuk tak lupa memimpin jamaah magrib di masjid. Ia sahabat terbaikku satu tahun belakang ini. Sahabat yang senantiasa memanggilku dengan kata penggalan sayang, sahabat yang akan menemaniku melewatkan hari bersama anak-anak kami kelak, sahabat yang benar-benar sejati. Namanya Ennid, istriku yang sementara mengandung anak pertama kami.
“Baiklah.” jawabku sembari berbalik dan mengambil sandal lalu berjalan menggandeng tangan sahabat sejatiku.
“Sebenarnya apa yang kita’ kerja di pantai tiap sore?” ia bertanya. Nampak di wajahnya rasa penasaran yang amat dalam. Ennid adalah warga kampung ini juga. Sebelum kami menikah, ia adalah tetanggaku, kawan sepermainan, adik kelas, junior di kampus, dan banyak lagi dimensi lainnya. Logatnya sebagai penduduk asli Sulawesi bagian barat masih sangat kental.
“Entahlah, aku mengingat berbagai kenangan masa kecil kita di pantai ini. Bersama Mail, Rustam, Azwar, Unyul, Unyil, trus… ini, e… siapa lagi..? mmm… kakaknya Iffah, yang pintar menangkap kepiting?” aku kesulitan mengingat nama seorang kawanku.
“Ooo…. itu Mira!” istriku menjawab.
“Ya. Yang paling berkesan bagiku saat kami berlomba menangkap kepiting. Aku paling suka bersama Mira dan Rustam. Mereka sangat cekatan menaklukkan kepiting. Apalagi jika mulai menangkap kepiting capit satu untuk aduan, bahkan Mail sang Tarzan laut pun kalah.”
“Ada jia Tarzan kalah?” istriku protes atas penamaan Tarzan pada Mail. Logat Rangasnya tak hilang. Ada jia jika dipadankan dalam bahasa Indonesia akan padan dengan mengapa bisa atau kok bisa. Intinya ekspresi heran campur protes plus mencibir.
“Iya, tetapi dia paling jago kalo urusan menyelam atau menaklukkan bulu babi, menangkap penja dengan sedikit pasir, dan balapan perahu” aku menjelaskan pada istriku alasan kami dulu memberi nama Mail sebagai Tarzan. Istriku dulu juga adalah mereka yang menghabiskan senggang dengan bermain beraneka permainan anak pesisir, namun tak termasuk dalam komunitasku. Mungkin karena perbedaan usia dan kegemaran.
“Sekarang dari mereka yang tinggal hanya kita’ dan Rustam. Yang lain kemana semua Yang?” ia bertanya lagi.
“Mencari kehidupan.” Kataku singkat sambil menghembuskan nafas berat. Ada kerinduan menggelayut di hatiku. Selepas SMA kami berpisah mengadu nasib di kampung orang. Tujuh tahun aku meninggalkan kampung ini untuk menuntut ilmu dan selama itu, hanya dua kali aku pulang: setelah empat tahun, dan saat aku akan menikah dan kemidian memutuskan untuk tetap menetap. Tak lagi pernah kudengar berita dan cerita tentang kawan-kawan sepermainanku di usia dewasa mereka kecuali setelah kemajuan teknologi dan peresmian kota pinggir teluk itu menjadi ibukota propinsi. Kedua hal itu bersamaan. Sekarang, bukan hanya di kota pinggir teluk itu, bahkan di kampungku pun telah banyak berdiri tinggi menjulang menara-menara yang menikam langit di pucuk-pucuk bukit tempat aku dan Mail dulu pernah berburu burung punai. Mereka menyebutnya dengan tower HP. Bahkan karena begitu latahnya, sebagian mereka juga menyebut menara masjid dengan tower masjid. Seperti tak percaya diri saja dengan kata menara yang notabene adalah bahasa kita sendiri.
“Yang, duluanka’ na. cepat-cepat mi ki’ ke masjid. Assalamu’alaikum!” Istriku berbelok ke halaman rumah kami.
“Wa’alaikum salam!” ujarku menjawab salamnya.
Rumah kami memang sangat dekat dengan pantai, seperti pada umumnya tipikal masyarakat yang hidup di pesisir. Kami bukan tak takut pada potensi tsunami, tetapi kami yakin bahwa tak akan ada mudharat ataupun manfaat tanpa Allah Jalla wa ‘Ala berkehendak kepada kami. Kami juga adalah masyarakat yang hidup dari laut dan sekitarnya, tak mungkkin kami meninggalkannya begitu saja.
Setelah berjalan sejauh dua puluh meter, tibalah aku di masjid. Tak lama kemudian seorang muadzin mengumandangkan adzan tanda panggilan untuk menghadap Ilahi. Tak banyak orang datang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan ukuran masjid megah di sebuah kampung di pinggir kota propinsi yang tak lagi kampungan. Sungguh berbeda waktu kami kecil di sini. Selepas magrib, tak ada anak-anak yang bemain di pantai atau di halaman rumah. Kami semua mengaji kepada Pua’ Imam, belajar hadits atau mendengarkan hikayat-hikayat penuh nasihat.
Sungguh sangat berbeda kini. Anak-anak tak lagi suka belajar dan bermain pada alam sekitar mereka melainkan bermain playstation hingga berjam-jam. Jika waktu kami bermain dulu terbatas oleh suara azan, maka waktu bermain anak-anak di kampungku kini terbatas oleh uang. Jika uang sewa sudah habis, barulah mereka berhenti bermain. Senada dengan playstation, permainan berbasis komputer juga sudah ramai memasuki kampung halamanku. Tak heran jika mereka masih kecil sudah berkacamata tebal lantaran sering menatap radiasi layar televisi atau layar komputer atau berbadan gemuk rentan penyakit lantaran tak pernah bergerak (kecuali menggerakkan mouse komputer atau joypad stik PS) membakar kalori. Fenomena inilah yang sering dicurhatkan Pua’ Imam kepadaku. Betapa pusat bermain elektronis telah menjadi rumah ibadah bagi mereka. Seakan kehabisan cara Pua’ Imam mencegah dampak negatif globalisasi mengharu-biru generasi kampung kami.
Tetapi inilah faktanya. Generasi yang datang shalat magrib hanya beberapa saja. Entahlah, sendiri aku tak mampu membendung dampak perubahan jaman yang begitu hebat menggeliat. Di pikiranku kini aku hanya ingin memimpin shalat hingga usai seperti amanah Pua’ Imam yang disampaikan istriku.
Sepulang dari masjid, kulangkahkan kakiku menuju rumah Unyul dan Unyil. Mereka adalah saudara kembar. Dibandingkan dengan kami, rekan sepermainan mereka, merekalah yang tergolong paling sukses. Unyul bekerja di salah satu bank ternama di negeri ini dengan jabatan yang cukup tinggi di kantor wilayah. Unyil memiliki rumah produksi sinetron yang sangat laris di setiap stasiun televisi nasional negeri ini. Mereka juga membiayai beberapa anak-anak cerdas dari kampung ini untuk bersekolah di luar. Kami—penduduk desa—tahu itu. Hanya yang kudengar ia tak pernah lagi pulang kampung.
“Assalamualaikum!” ucapku dengan suara yang agak sedikit keras setibaku di depan pintu rumah Unyul dan Unyil.
“Waalaikum salam! Siapa?” sebuah suara tua menyahut dari rumah besar ini.
“Saya, Aswan.” Jawabku. Menyebut nama lebih utama dinding hanya mengucap kata saya. Bukankah semua orang bisa berkata saya?
“Oh... kamu nak. Mari masuk.” Ayah Unyul mempersilakanku.
Aku kemudian duduk di sofa yang empuk dan nyaman. Kulihat interior rumah ini cukup mewah dibanding rumah lain yang umum di kampungku.
“Unyul dan Unyil apa kabar pak? Setahun saya di sini dia kok tidak pernah kelihatan?” Aku bertanya.
“Entahlah nak, mereka katanya sibuk sekali. Sejak mereka berangkat kuliah hingga kini sudah kerja, tak pernah pulang. Paling-paling Cuma menelepon.” Jawab ayah Unyul dan Unyil. Matanya menyimpan kerinduan yang membuncah. keningnya yang tua berkerut dalam garis-garis kulit keriput dimakan usia.
“Walaupun lebaran?” tanyaku lagi. Aku heran saja, bagaimana kedua temanku itu membangun rumah orang tuanya tanpa datang dan mengontrol prosesnya.
“Ya. Mereka menelepon dan mengirim SMS. ‘Kan sekarang pulsa murah? Tetapi mengapa tak sempatkan pulang. Sesibuk apapun, jika lebaran pasti libur. Apalagi tempat kerjanya bukan ji yang kerja terus waktu libur kayak televisi, transportasi, penitipan atau apa lah. Unyil juga ‘kan paling bos, masa tidak bisa meliburkan karyawannya?” dari tuturnya, kulihat ada kekecewaan di rona orang tua ini.
“Mungkin mereka tidak kebagian tiket?” aku mencoba menepis kekecewaan yang bergelayut di hatinya.
“Tak mungkin, mereka berkecukupan uang. Mereka bisa pesan jauh hari sebelumnya. Lihatlah rumah ini. Semua gambar, biaya, teknisi, dan pekerja diaturnya dari sana dengan menyewa konsultan dan pemborong. Mereka terima jadi, aku juga cuma nonton. Jika dulu masih kuliah tak pulang wajar saja karena aku memang tak sanggup membayarkan sewa mobil mereka. Dan lebih baik uang sewa itu di pakai hidup di sana lebih lama dari waktu pulang libur.” Kembali ia berbicara sambil menghisap racun tembakau ke dalam tubuhnya. Orang tua ini cukup cerdas mencerdaskan kedua anaknya, tetapi tak cukup cerdas mencerdaskan dirinya bahwa rokok itu beracun.
“Mungkin memang lagi sibuk Om, siapa juga yang tidak mau pulang?” kembali aku mencoba membesarkan hatinya. Pertanyaanku tentang desain rumah ini terjawab sudah tanpa aku bertanya.
“Iya, tetapi tetap lebih afdhol kalo langsung pulang ke sini, melihat orang tua satu-satunya ini.” Kembali racun terhembus dari bibir dan hidungnya sembari berbicara.
“Iya juga ya Om.” Aku tak mau melawan argumennya. Yang kulihat di kampungku sekarang memang begitu. Lebaran beberapa bulan yang lalu terasa tak meriah. Tak ada lagi jalan-jalan yang dipenuhi anak-anak ma’siarah. Tak ada lagi remaja dan anak muda yang begitu antusias bersilaturahmi ke tetangga. Paling banter mereka hanya mendatangi tetangga radius satu rumah. Lebih dari itu mereka merasa cukup mengirim rangkaian kalimat puitis penuh makna untuk meminta maaf sebagai ganti silaturahmi. Teknologi ini memang memudahkan orang untuk meminta maaf, tetapi justru membuat orang menggampangkannya dan menghapuskan nilai kesakralannya. Selepas bersilaturahmi pada tetangga radius satu rumah, mereka lalu memacu kendaraan mereka menuju tempat wisata alam di kota di tepi teluk itu. Ada Kali So’do, air terjun Tamasapi, Anjoro Pitu, atau yang lainnya. Aku sendiri juga heran, yang kutahu di masa kecilku, saat lebaran kami mengunjungi semua rumah yang masih sekampung dengan kami. Bahkan jika tak selesai, kami tetap melanjutkannya hingga lebaran ketupat. Memang lebaran ketupat tidak ada dalilnya, tetapi kami lebih memanfaatkan tujuh hari itu untuk bersilaturahmi lebih erat dan intensif lagi.
Akhirnya, malam itu aku dan ayah Unyul dan Unyil menghabiskan waktu membahas dampak negatif perubahan zaman ini. Aku kagum pada ketajaman analisanya di usia senjanya ini. Bagiku perubahan ini mungkin tak terlalu terasa, atau aku yang tak peka, tetapi bagi orang tua ini sungguh berbeda.
Tetapi begitulah kini kenyataannya. pes caprae yang dulu menghampar luas kini hanya tinggal beberapa lebar saja dibanguni bangunan aneka, kepiting sudah tak lagi mudah ditemukan lantaran mangrove juga sudah jarang, hanya tinggal ikan penja atau ikan seribu yang bertahan. Mereka masih ikan seribu dan mudah mudahan tak akan mereka menjadi ikan sepuluh. Pohon-pohon tinggi di puncak bukit telah tiada berganti dengan menara-menara yang menikam langit. Penjual kartu lebaran dan kertas surat sahabat pena telah berganti menjadi penjual pulsa dan buku kumpulan SMS canda, cinta, dan jenaka. Demikian pula perubahanku: dulu aku anak-anak, sekarang aku calon bapaknya anak-anak. Tapi itulah kampungku kini. Kampung yang kucintai. Dan entah mengapa aku begitu merindukan Ennid istiku di rumah yang tengah mengandung anakku.
“Om saya pamit dulu, udah malam” Ujarku mohon diri.
****
Makassar 22 Desember 2008
Mamujuku dulu dan kini:
Aku masih milikmu
2 Response to "Maginda"
Eh maginda, kamu tinggal di mana? kita sama orang mamuju.
Munawir
aku tinggal di Mamuju kompleks trans :D
Leave A Reply