Sponsor


ShoutMix chat widget

Sabtu, 12 Maret 2011

Desa Tukamasea

Posted on 13.57 by Lahir untuk sebuah dakwah bilqalam

Desa Tukamasea

Oleh: Yusuf As- Shafyurahman

(pernah di terbitkan di Fajar)

Siapa yang benci keindahan? Siapa yang berani menolak kehendak hatinya untuk memuji keindahan ciptaan sang Pencipta? Siapa pula yang tak mau berbuat semaksimal mungkin hanya untuk memperoleh keindahan?

Nai…?” Tanyaku dalam hati.

Tena. Kalaupun ada dia pasti pabonga-bonga!” Jawabku dalam hati.

Keindahan alam adalah anugerah yang tak bisa kita pungkiri sebagai manusia. Bukan manusia jika ia tak mencintai keindahan. Bukan manusia jika ia tak bisa menghargai keindahan. Ki Hadjar Dewantara pun mengakui itu.

Gunung dengan segalah lapisannya yang terluar berupa batuan-batuan cadas yang mebentuk ekstase dengan bayangan-bayangan yang mencekung ke dalam dengan aneka jenis rerumputan yang menjuntai dengan rona hijau muda yang melenakan mata seakan mewajibkan kita untuk memujinya. Aneka pohon dan segalah jenisnya tak luput menjadi penghias keindahan batuan yang menjulang tinggi ke angkasa yang pada awal tadi ku sebut dengan nama “gunung”. Buka hanya gunung tapi sawah nan hijau yang terhampar luas yang tengahnya dibelah oleh aliran sungai berbatu dengan batuan-batuan cadas yang telah terbungkus lumut seakan membentuk lukisan alam yang tak mungkin bisa di lukis oleh manusia.

Keindahan tadi bukan sekedar angan-angan belaka , bukan pula cerita negeri dongeng atau lukisan cat minyak di atas kanvas, tetapi itu memang kenyataan alam yang ada di hadapanku sekarang. Sungguh mempesona desa ini dengan segala keindahannya. Orang-orang kampung menyebut desa ini dengan nama Desa Tukamasea. Letak desa itu berada di daerah Kecamatan Bantimurung, tepatnya masih dalam kawasan karst Maros- Pangkep.

Dan pagi ini, keindahan yang pernah kutuliskan pada sebuah sudut pikiranku 30 tahun lalu berusaha kukupas kembali di hadapan murid-muridku yang masih duduk di sekolah dasar. Sengaja kuceritakan itu kepada murid-muridku yang masih belia agar mereka bisa melihat alam ini dengan hati yang suci….ya dengan hati yang suci seperti aku dulu kepada sebuah pohon di desa ini. Biar itu semua abadi dan tak bisa dijamah oleh tangan-tangan manusia lain karena tiap generasi belia di desa ini telah mendengar dan meresapi kisahku itu. Kisah tentang kenapa Desa ini bernama Tukamasea. Dan aku berharap pagi ini di dalam hati mereka keindahan itu abadi dan mencintai pohon yang tumbuh di kampung ini.

***

Beberapa tahun ketika umurku sudah lanjut dan telah pensiun dari mengajar. Di suatu pagi yang cerah, seorang bocah wanita bernama Anila mendatangiku. Dia adalah cucuku. Dia membawa bibit pohon dengan kantong hitam dengan sedikit menangis dia menyerahkannya padaku.

“ Kek, ceritakan sejarah pohon ini?”pintanya dengan lembut. Sambil duduk bersila di hadapanku.

Aku sedikit tertegun. Mataku berpotensi basah. Anganku mulai mengembara dalam keharuan ini. Cepat-cepat aku menyadarkan diri dengan sedikit membasuh mataku yang telah dipenuhi garis-garis sejarah desa ini.

“ Sini nak! Kakek akan menceritakan sejarah pohon ini. Tapi berhenti mako dulu menangis karena pohon ini tak suka orang menangis!” Anila menurut. Dia tak menangis lagi.

“Hmm…kamma anne ceritana.”

Dahulu kala di desa ini ada sebuah pohon yang begitu besar. Seperti beringin tapi bukan beringin. Juga bukan pohon asam atau jenis-jenis pohon lainya yang sering kita jumpai. Di bawah pohon itu udara sangat sejuk. Lumut-lumut batu tumbuh di bawahnya. Beberapa jenis rumput-rumput tumbuh subur. Dan beberapa bukit batu berwarna hitam pekat mengitari pohon itu. Udara di sekitar pohon bagaiakan aroma terapi. Tiap pagi sampai siang hewan-hewan mencari makan disitu.

Bertahun-tahun pohon itu tumbuh menyendiri. Tak seorangpun yang pernah melihatnya ataupun mendekatinya. Memang dari jauh pohon itu bak kotak hitam yang menyimpan banyak misteri. Desas-desus mengatakan bahwa pohon itu dipenuhi ruh-ruh jahat.

Nia tojekkah setan anjo ri pokok-pokokka?” Tanya seorang warga.

“ Mungkin iya mungkin juga tidak. Tapi punna memang nia pastimi antu setan kuttu dan pabbangbangan.” Jawab seorang warga lainnya.

“ Eh…! Piti pau-paui anne bawana. Awasko!”

Tapi benar juga kata warga tadi. Mana ada ruh yang gentayangan di pohon itu? Toh! Di bawah pohon itu tumbuh berbagai jenis bunga yang aromanya harum dengan warna-warni yang elok. Tapi yang jelas tak ada yang tahu ada apa di pohon itu dan sekitarnya karena tak ada yang mau tahu apalagi mendekati pohon itu. Apakah mungkin karena aroma bunga itu mengingatkan pada aroma kuburan?

“ Mungkin begitu kapang kek!” Anila memotong pembicaraan.

“Dengarki dulu cucuku!” Jawabku lembut.

“Iya pale kek.” Anila menurut.

Setelah bertahun-tahun pohon itu menyimpan misteri dan desas-desusnya terdengar oleh seorang anak laki-laki yatim piatu. Anak itu kira-kira masih berumur 14 tahunan. Hidupnya tidak menetap. Makannya berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Hingga suatu hari ia mendengar kisah pohon itu. Dia ingin melihat pohon itu. Ia merasa dirinya senasib dengan pohon itu. Selalu kesepian. Selalu kamase-mase.

Tibalah anak itu bertemu pohon itu. Di pandanginya tajam-tajam tiap lekuk pohon itu. Dilihatnya bunga-bunga nan elok. Rumput-rumput yang subur. Lalu dirasakannya udara begitu segar dan sejuk.

“ Apanya yang pakamalla-malla’?”

Apa di’?” “Ah,…lupakan!”

Sejak hari itu dia bersahabat dengan pohon. Semua aktivitas dilakukan di bawah pohon itu. Baginya pohon itu lebih dari sekedar sahabat. Pohon itu di anggapnya sebagai seorang keluarga agar orang-orang tak lagi memanggilnya tukamase-mase.

Musim berganti. Anak itu semakin bahagia hidup bersama pohon. Disampaikannya kebahagian itu kepada masyarakat. Pada awalnya tak ada yang mau percaya kalau pohon itu tak ada ruh jahatnya atau misteri-misteri kelam.

Tapi mana ada manusia yang mau menolak kehendak hatinya untuk menolak keindahan? Segalah cara akan dilakukan untuk mendapat keindahan bukan? Begitulah pohon itu. Sekitarnya memang indah, suasananya bersahabat apalagi semenjak anak itu merawat dan tinggal bersama pohon itu. Lama-lama orang-orang sering berdatangan ke bawah pohon itu. Bahkan satu persatu warga membuat rumah di sekitar pohon itu. Jadilah sekitar pohon itu sebuah perkampungan.

Namun sungguh malang nasib anak itu. Ia tidak di perbolehkan lagi tinggal di bawah pohon itu. Dia diusir. Penduduk telah merampas kebahagian anak itu. Jadilah kembali anak itu Tukamase-mase. Hingga beberapa tahun kemudian nasib anak itu entah kemana, entah bagaimana. Konon katanya anak itu sudah bercucu dan cucunya cantik-cantik.

Singkamma kau Anila.” Kataku lirih dengan mata yang telah basah. (*)10/08/2010.

Tukamasea : orang yang dikasihani; orang miskin.

Nai : siapa

Tena : tidak ada

Pabonga-bonga : pembohong

berhenti mako dulu :hentikan terlebih dahulu

kamma anne ceritana : begini ceritanya.

Nia tojekkah setan anjo ri pokok-pokokka: Betulkah ada setan di pohon itu

Tapi punna memang nia pastimi antu setan kuttu dan pabbangbangan: Jika memang ada pasti setan itu pemalas dan sedang kepanasan.

pakamalla-malla :membuat takut-takut.

Singkamma kau : seperti kamu.

1 Response to "Desa Tukamasea"

Leave A Reply